Rabu, 25 November 2015

Diam [Cerpen]



Keheningan malam, rintiknya hujan menemaniku saat menunggu bus TransJakarta. Entah kenapa malam ini tak banyak orang yang lalu lalang di halte ini. Biasanya lautan manusia sudah terkumpul disini menunggu bus-bus yang datang. Oh, mungkin karena sudah jam 10 malam. Hanya nampak muka-muka penat dan rambut yang kusut tanda mereka telah menyelasaikan pekerjaan yang mungkin berat dan perlu waktu lebih.
Diantara orang-orang itu, Nampak sesosok perempuan yang sedang tapping kartu untuk masuk ke halte yang mukanya sudah tidak asing lagi, sepertinya aku mengenalnya.
Lambaian tangan nya yang khas ditambah senyum yang membuat matanya menjadi sipit, untuk beberapa saat menyakinkanku bahwa aku sudah cukup lama mengenalnya.
“Hay Nat…..” wanita itu mendekatiku seraya menyapa.
“Hay Sis, Baru pulang kamu?”
“Iya nih, lembur akhir bulan” Jawabnya mengambil posisi duduk di sampingku.
“wah mantap nih, calon best employee of the year” candaku.
“apapan sih kamu…” jawabnya sembari memukul lenganku pelan.

Aku mengenal Sisca sudah cukup lama, kami memang satu perusahaan, namun kami beda business unit. Aku di business unit IT, sedang dia di Finance. Sudah cukup akrab memang. Jalan pulang yang searah, dengan moda transportasi yang sama membuat kita menjadi dekat.
Ada perasaan aneh ketika aku didekatnya, hanya sekedar mengobrol, atau canda tawa. Perasaan yang kadang membuat aku tersenyum seperti orang gila ketika aku mengingat nya. Cengkrama kami sungguh membuat beberapa orang yang ada di halte memandang cemburu. Kamipun tak menghiraukannya, seolah halte ini milik kami berdua. 
 Dalam beberapa saat, aku memandang kedua matanya yang bening, sayu dengan senyum yang dalam. Hanya ada sesuatu saat ini yang ingin aku ucapkan.
            “Hey Nat…. kok bengong sih. Kamu kenapa” Kata Sisca sembari menepuk pundak ku yang mengagetkanku.
            “Haa…. Enggak kok. Hehee” jawabku gugup diselingi ketawa kecil.
            “Kok dari tadi aku lihat, kamu gak focus sih Nat. Kenapa?” tanya Sisca serius
            “Nggak papa Sis” jawabku ngeles
            “Ayo lah cerita” paksa Sisca
Aku bingung, apa aku harus berkata jujur dan mengungkapkan apa yang ada didalam pikiran dan hatiku. Sedari tadi hati ini bergejolak entah kemana arah nya.
            “Sis….” Aku memandang tajam matanya.
            “Ih… kamu kenapa sih, aku jadi takut nih” jawabnya bercanda
“Sisca, entah apa perasaan ini, ketika aku didekatmu, jantung ini berdebar, ketika  aku memandangmu, ada getaran di hati ini, ketika aku didekatmu akupun bahagia”
“Sisca,…. AKU MENCINTAI MU”.
“………………………………………………………………..”
Mata Sisca terbelalak, diam , kaku sejenak tanpa ada sepatah kata yang keluar dari mulutnya.
Belum sempat ada kata yang keluar dari mulut Sisca, bus yang sedari tadi kami tunggu telah datang.
“Yuk sis, bus nya sudah datang” ajak ku ke sisca kaku.
Sisca masih terdiam membisu seribu bahasa. Berjalan lemas di depanku. Akupun menjadi canggung dengan apa yang baru saja terjadi.
Rumah Sisca di daerah Glodok, perlu melewati 11 halte untuk sampai di rumahnya. Sedangkan rumahku hanya perlu melewati 5 halte. Didalam bus kita saling diam walau duduk bersebelahan. Tak banyak bicara memang, tak seperti di halte tadi atau pada saat dikantor seperti biasa.
“Sis aku duluan ya” kataku sembari beranjak berdiri karena sudah hampir sampai halte tujuanku.
“oke Nat.” jawabnya singkat dan tersenyum tipis.

***
Sudah 2 hari ini, saat jam makan siang tiba. Tak ada pesan BBM masuk dari Sisca. Aku seperti kehilangan sesuatu. Seolah ada yang hambar. Aku pun canggung untuk memulai mengirim pesan ke Sisca.
Aku hanya menatap kosong layar HP entah sampai kapan. Atau mungkin sampai jam makan siang ku habis.
“Nat, mau makan dimana?” tiba-tiba pesan yang sedari tadi ditunggu pun muncul.
 “Jangan kerja terus, makan siang itu penting lho” sebelum aku sempat membalas BBmnya, dia sudah mengirim pesan lagi.
“iya Sisca. Di FX sudirman aja yuk” balasku cepat dan tersenyum kegirangan
“Ok, aku tunggu di lobby ya”
Aku segera merapihkan meja ku, dan bersiap turun ke lobby. Tak lupa aku merapikan rambutku dan memakai parfum agar terlihat lebih fresh di depan Sisca.
Keluar lift, aku melihat sisca tidak sendirian. Ada seseorang laki-laki di sampingnya. Akupun melambaikan tangan ke Sisca untuk memberi tanda bahwa aku sudah di lobby. Aku mendekatinya pelan-pelan.
“Hay Nat… kenalin ini Andrew” Sisca langsung mengenalkan seseorang di sampingnya.
“Nathanael, temen kantor Sisca” aku menyebutkan namaku sambil menyodorkan tanganku untuk berjabat tangan.
“Hay Nathan, Andrew calon tunangan Sisca” diapun menyambut tanganku ramah sambil menyebutkan namanya.

Ada kesakitan yang luar biasa di dada ini, seolah seseorang sedang menusuk tubuhku dengan samurai yang luar biasa tajam mendengar kata itu.
“Heh nat, kok bengong… ayok jalan” kata Sisca yang mengagetkan ku tiba-tiba.
“Iya ini Andrew, calon tunangan aku. Kita udah 5 Bulan pacaran” Sisca mencoba menjelaskan dengan lembut tanpa dia menyadari betapa sakitnya hati ini.
“oh ok… ayo” jawabku gugup dan menyembunyikan kekecewaanku.

Aku berjalan di belakang mereka dengan jarak hanya satu kaki. Aku memandang perih seolah bahwa aku tidak rela dengan apa yang baru saja ku dengar.
Semenjak kenal dengan Sisca satu tahun yang lalu, dia tak pernah sedikitpun menyinggung masalah tunangan ataupun hubungan asmara. Aku sudah terlanjur nyaman dengan keadaan itu.
Mereka sungguh serasi, aku melihat dalam sambaran petir dan hati yang terkoyak. Andrew sepertinya sungguh menyayangi Sisca. Melihat tangan Andrew membelai mesra rambut Sisca, lalu Sisca pun membalasnya dengan senyuman penuh arti.
Kini, aku harus menerima konsekuensinya. Sungguh aku tak bisa mengungkapkan dan menterjemahkan apa arti dari diam yang baru saja aku alami.
Memang…..
“Aku mencintaimu diam-diam. Sakit memang.
Tapi, lebih sakit jika aku mengungkapkan nya.
Lalu, kau diam-diam menjauhiku”**

** disadur dari puisi : Widya Putri.

Copyright2015:AKO






0 komentar:

Posting Komentar

 
;