Sebelumnya mau curhat dulu, ini adalah salah satu cerpen yang ditolak oleh salah satu penerbit di Semarang. Mau gak mau harus legowo ya.. HaHa. Mungkin emang belum layak buat terbit. Ya sudah lah terbitin sendiri aja disini. Kalian mau pada baca kan ? (Haruss... kalau gak gue makan entar ! :D). Oke selamat menikmati CERPEN yang di buat dari hati ini. Semoga pesan nya bisa masuk ke pembaca sekalian.
***
IMPIAN
dan HATI
Karya
: Afian Haryadi
Hari ini adalah hari terakhir
ujian nasional tingkat SMA. Ya hari ini adalah tanggal 24 April 2009. Seperti
layaknya anak-anak SMA yang lainnya, aku mencoba untuk melaluinya dengan
belajar sungguh-sungguh dan mengerjakan soal dengan teliti. Aku mengerjakan soal-soal
ujian dengan penuh semangat. Tak peduli sesulit apapun soalnya, aku tak akan
pantang menyerah. Kimia adalah mata pelajaran terakhir yang diujikan. Aku harus
menghafal tabel unsur-unsur kimia sampai hafal diluar kepala. Beruntung guruku,
ibu Ety setyowati sudah mengajarkan cara menghafal semua unsur-unsur kimia
tersebut dengan cara yang menyenangkan. “Ha
Li Na Ka Robi Cs Frend” aku mencoba menghafalnya dalam hati secara terus
menerus. “Ha Hidrogen, Li Litium, Na Natrium, Ka Kalium, Robi Rubidium, Cs
Sesium dan Frend untuk Fransium” Aku berkomat kamit seperti dukun yang ada di
film-film.
Bel tanda masuk untuk
ujian sudah dibunyikan. Semua anak-anak berebut masuk rungan yang telah
ditentukan. Aku mendapat ruangan R.01. Ruangan di lantai satu SMA Pertiwi
Wonosobo. Dua pengawas ujian membagikan soal dan lembar jawaban. Tata cara
mengikuti ujian dan peraturannya juga mereka bacakan. “Bismillah… Ya Allah mudahkanlah aku dalam mengerjakan soal ujian kimia
ini” Doa ku dalam hati sebelum memulai mengerjakannya. 50 soal aku kerjakan
dengan sungguh-sungguh. Gerakan pensil 2B yang sudah agak tumpul menari-nari
diatas lembar jawabanku. Ia seolah aku paksa untuk bekerja rodi pada ujian
nasional ini. Terkadang pengawas berlalu lalang dari depan ke belakang sembari
menatap tajam para peserta ujian. “Alhamdulillah” ucap ku bersyukur sambil
berkemas-kemas untuk keluar ruangan setelah selesai mengerjakan semua soal.
Aku berjalan melewati
lorong kelas yang masih cukup lengang karena sebagian peserta ujian yang lain
belum semua keluar. “Ryan…” terdengar suara perempuan memanggil dari kejauhan.
Aku menoleh mencari cari sumber suara itu. Nampaknya ada sesosok perempuan
berlari mendekat kearah ku. Aku menghentikan langkahku sejenak.
“Ryan…. Kamu cepet
sekali keluarnya ?” tanya vivi setelah dia didepan ku. Perempuan itu adalah
vivi. Dia adalah kekasihku. Kami berpacaran semenjak kelas sebelas.
“Iya vi, kan udah
selesai” jawabku sambil tersenyum kepadanya.
“Kamu habis ini mau
kemana”
“Langsung pulang
kayaknya. Mau bantuin ayah kirim ayam ke pembeli”
“ohh..” katanya
singkat. Raut mukanya seperti kecewa. Mungkin ia ingin aku menemaninya atau
mungkin ingin aku didekatnya setelah sudah agak lama semenjak ujian nasional
ini kami jarang sekali jalan berdua. Kami sibuk belajar dan les di bimbingan
belajar.
“Kamu kenapa vi?” Tanyaku
memastikan.
“ahh nggak papa. Ya
udah gih sana pulang. Nanti ditungguin ayahmu.” Vivi mencoba menutupi raut muka
nya yang kecewa dengan senyum kecil nya yang manis.
Hening sejenak kami
berdua. Kami telah berjalan sampai ke pintu gerbang sekolah. Aku dan vivi beda
arah. Aku menunggu bus yang ke jurusan banjarnegara sementara vivi menaiki
angkot kuning ke arah kota. Rumahku berbatasan langsung dengan kabupaten
banjarnegara. Jadi dialek sehari-hari kami menggunakan dialek banyumasan atau
biasa disebut ngapak. Dalam
perjalanan pulang aku berfikir bahwa tadi vivi sangat kecewa dengan perkataanku
yang hendak langsung pulang ke rumah. Tapi aku memang harus membantu ayah untuk
mengirim ayam-ayamnya ke pembeli karena karyawan ayahku sedang sakit.
***
Malam yang dingin
ditemani bintang-bintang yang berkerlap-kerlip. Aku membuka jendela rumahku
yang terbuat dari papan. Bintang di langit itu terlihat tersenyum kepadaku
seakan mengajak ku bicara. “apa yang
sedang kamu pikirkan?” seolah bintang itu bertanya kepadaku. “Bintang kemana aku harus melanjutkan kuliah
setelah lulus nanti?” Tanyaku padanya dalam hati sambil terus
memandanginya. Lamunanku malam ini adalah aku masih bingung untuk melanjutkan
kuliah dimana setelah lulus ini. Tapi ada dua pilihan dalam benakku. Mengambil
jurusan keguruan atau broadcast.
“Tok.. tok.. tokk…”
Suara pintu itu membuyarkan percakapanku pada bintang.
“Dek… udah tidur?”
tanya seseorang di balik pintu.
“Belum bue.. masuk aja,
nggak di kunci” kataku sambil beranjak dari depan jendela.
“Dek gimana ujianmu
tadi ?” Tanya ibuku lembut sembari ia meletakkan sepiring tempe kemul dan
segelas susu coklat panas kesukaanku.
“Ya lumayan susah bue,
tapi adek yakin bisa lulus dan dapat nilai bagus kok”
“Bagus. Harus optimis
!” kata ibuku semangat
“iya harus bue” kataku
lebih semangat.
Kami mengobrol layaknya
seseorang ibu kepada anaknya. Ibu menanyakan hal-hal kecil sebagai obrolan
kami. Ibuku sangat perhatian padaku. Beliau begitu menyayangiku. Mungkin karena
aku anak terakhir. Kedua kakak ku sudah menikah semua. Jarak usia kami pun
cukup jauh. Aku dan kakak pertama ku terpaut usia 12 tahun sedangkan dengan
kakak kedua ku terpaut usia 7 tahun. Aku juga punya adik. Usia kami tidak beda
jauh hanya terpaut 3 tahun. Namun adikku sudah kembali kepada sang pemberi
hidup pada saat ia berumur 3 tahun. Mengingat kematiannya terkadang aku
menangis sendiri. Ia tidak mengalami sakit sedikit pun. Waktu itu aku masih
kecil. Kami berdua bermain ditemani ibu di rumah tetangga kami. Selang dua hari
kemudian badan adik seperti gosong-gosong lalu ia meninggal dunia.
“Nak… habis ini kamu
mau kuliah dimana?” Ibuku memulai pertanyaan yang serius.
“Adek pengen di UNS solo bue. Ngambil keguruan
atau kalau nggak, adek pengen di UGM
ngambil jurusan komunikasi” Kataku mantap.
Ibu mengerutkan
dahinya. Tanda sedang memikirkan sesuatu. Aku tidak tau apa yang ibu pikirkan.
“Dek… “ Ibu
menghentikan perkataan nya sejenak. Seolah lidah ibu kelu dan tak bisa
mengungkapkan apa yang hendak dibicarakan.
“iya bue…” jawabku
“Dek… kalau kamu tidak
kuliah tahun ini nggak apa-apa kan”
Perkataan barusan seolah membuat seluruh bintang di langit runtuh jatuh ke
lembah api.
“Lho bue kenapa adik
gak bisa kuliah tahun ini?” Tanya ku memastikan
“Dek.. Ayahmu bangkrut.
Musim ini banyak ayam yang mati mendadak. Dan ada tengkulak yang kabur tidak
mau membayar ayam yang mereka beli. Sementara uang pensiunan ayahmu dulu sudah
habis.”
Aku tertunduk lesu
mendengar semuanya. Aku ingin menangis sejadi jadinya namun aku malu untuk
mengeluarkannya di depan ibu. Bintang malam ini seolah pergi. Enggan ia
berbicara lagi denganku. Ia tak memancarkan cahayanya lagi. Redup kelam seperti
suasana hati ini. Setelah ibu pergi aku benar-benar menangis. Marah, kesal,
benci perasaan ini campur jadi satu. “Akan
kah impianku sirna bersama gelapnya malam ini” Hatiku bertanya-tanya.
***
13 Juni 2009. Sabtu
yang cerah. Mentari pagi memancarkan kehangatannya. Udara pagi Wonosobo yang
biasanya menusuk tulang pun bersahabat sekali pagi ini. Ku menunggu bus di depan
rumah seperti biasa. Namun kali ini sudah agak berbeda, karena sudah lama aku
tidak melakukannya setelah ujian sekolah berakhir bulan Mei. Semua siswa kelas
12 sudah tidak sekolah dan tinggal menunggu hasil kelulusan di rumah
masing-masing. Pagi ini adalah pengumuman hasil UN. Semua siswa diminta hadir
di sekolah untuk mengetahui hasilnya. Aku berjalan melewati gerbang sekolah
yang sudah terbuka lebar. Langkahku tak bergairah. Seperti ada yang menambahkan
beban dikakiku, sehingga kaki ini sulit sekali untuk berjalan. Kelas duabelas
IPA 2 berada di ujung sebelah perpustakaan sekolah. Lorong kelas ini sudah
ramai. Nampak wajah-wajah peraih mimpi yang berseri-seri. Mungkin mereka juga
berdebar debar tapi mereka tetap optimis dengan hasil yang akan mereka dapatkan
nanti.
“Yan…” Ia menepuk
pundakku dari belakang. Aku menoleh kearahnya.
“Kamu ra?” Dia Tara.
Sahabatku yang kebetulan satu kelas denganku.
“Kamu mau nglanjutin
dimana?. Udah daftar SNMPTN?” Tanya Tara sambil berjalan menuju ke kelas.
Aku mengrenyitkan dahi.
Dalam hatiku sedih mendengar pertanyaan itu. Namun ini dalah konsekuensi yang
harus ditanggung. Ya aku harus terlihat tegar menjawab semua
pertanyaan-pertanyaan tentang itu.
“Kayaknya aku nggak
ngelanjutin kuliah tahun ini ra” Jawab ku santai menutupi kesedihanku
“Lho kenapa?” Tanya
Tara terkejut
“Nyong
pengen ngedem pikiran sit” (Aku ingin mendinginkan pikiranku
sejenak) Jawabku.
“Halahh…
mang ngedem barang.” (Halahh kenapa harus mendinginkan
pikiran segala).
Kami berdua sampai di
kelas. Semua obrolan anak-anak membuat hatiku semakin panas. Kebanyakan dari
mereka mengobrolkan tentang kuliah.
“Eh… aku ketrima di
STAN lho” Kata salah satu temanku di bangku paling depan.
“Arghhhhhh…
kenapa sih aku harus nunda kuliah” Hatiku berontak. Semua
orang membicarakan tentang kuliah… kuliah…. dan kuliah.
Suasana kelas menjadi
hening. Wali kelasku ibu Herlina masuk kelas dengan membawa sejumlah amplop
putih. Ibu herlina memberikan salam kepada semua muridnya lalu ia sedikit
memberikan arahan.
“Anak-anak… kelas kita
ada yang tidak lulus” kata-kata yang baru diucapkan bu Herlina membuat suasana
kelas mencekam. Hening begitu terasa ada sebagian murid yang matanya sudah
berkaca-kaca mendengar ucapan itu. Aku menanggapinya biasa saja. Lulus tidak
lulus toh aku nggak bisa nglanjutin kuliah. Putus asa sudah aku dibuatnya. Ibu
Herlina membagikan amplop satu persatu kepada semua murid. Tapi beliau berkata
untuk tidak membukanya terlebih dahulu sebelum ada aba-aba dari nya.
“Sekarang boleh dibuka
amplopnya” Kata bu Herlina setelah beliau selesai membagikan semua amplop
kepada semua murid. Semua wajah terlihat tegang. Harap-harap cemas terlihat
jelas dari semua murid.
Selamat kepada Ryan Haryanto
dinyatakan LULUS
Isi amplop itu terasa
biasa saja menurut ku. Tak ada yang istimewa. Semua siswa bersorak sorai.
Ternyata perkataan ibu herlina tentang salah satu siswa tidak lulus itu hanya
untuk membuat kami tegang. Kelas XII IPA 2 dinyatakan lulus 100 %.
“Selamat ya nak… kalian
semua LULUS” Kata Ibu Herlina tersenyum bangga kepada semua siswa.
Satu persatu kami semua
menyalami ibu Herlina dan mencium tangannya tanda ucapan terimakasih setelah
satu tahun ini kami semua dibimbingnya. Uforia kelulusan sekolah begitu terasa
di sekolahku. Mereka semua melakukan corat coret pada seragam mereka.
Sebenarnya hal ini aku tidak setuju. Kenapa harus merayakan kelulusan dengan
corat-coret baju seragam sedangkan baju seragam yang mereka pakai sebenarnya
bisa mereka sumbangkan kepada panti asuhan atau yang lainnya.
***
“Kamu sepertinya tidak
bahagia ya?” Suara dari samping kiriku membuyarkan lamunan.
“eh.. vi.. kamu dah
lama duduk disini” sapaku mencoba tersenyum. Aku malah lupa kalau aku masih
punya kekasih bernama vivi. Aku belum bertemu dia sejak di sekolah tadi. Kini
ia ada disampingku duduk di halte yang sudah cukup usang. Beruntung aku punya
kekasih yang begitu sabar dan pengertian. Walaupun aku sering dingin dan
terkadang cuek tapi dia tidak pernah marah, hanya sesekali marah bila aku
keterlaluan.
“Kamu lulus kan
yan?”Tanya nya penasaran sambil memandang wajahku teduh
“Iya dong… Ryan masa
gak lulus” Jawabku membusungkan dada
“ahh kamu ini” ujarnya
menepuk dadaku
“awww…”
Kami berdua tertawa
renyah. Kalau di dekat vivi seolah beban dalam pikiranku hilang. Lenyap tak
membekas sedikitpun.
“Kamu mau nganjutin
kemana?” Pertanyaan yang sebenarnya tidak ingin aku dengar kembali terlontar,
kali ini dari kekasihku sendiri.
“ehhmmm….” Lidah ku
kelu. Aku ingin berbohong seperti saat menjawab pertanyaan Tara tadi tapi aku
nggak bisa.
“Kenapa yan?”
pertanyaan itu membuat mataku berkaca-kaca. Apakah aku serapuh ini?.
“Gini vi, aku nggak
ngalanjutin kuliah tahun ini. Ayahku habis bangkrut” Aku mencoba tegar dan
jujur. Mataku yang berkaca-kaca mencoba ku lenyapkan.
“Sabar ya yan….” Dia
mengelus elus lengan ku. Aku mencoba untuk tersenyum dan bertanya kembali
kepadanya.
“Kamu mau kuliah
dimana?”
Dia memandangku dengan wajah teduhnya
dan menjawabnya “aku daftar di UNDIP yan, jurusan Arsitektur”
“Yap
semoga ketrima ya vi. Aku selalu mendukungmu” aku mencoba menguatkan dan
menyemangatinya.
“kamu
juga ya… jangan menyerah tahun depan kamu pasti bisa kuliah” vivi
menyemangatiku.
Semangat
dari vivi membuat hidup ku kembali bergairah. Aku kembali berfikir positif
untuk kejadian ini. Mungkin jalan hidup yang harus aku lalui memang seperti
ini. Tapi hidup harus terus berjalan. Dunia ini tidak akan berhenti karena aku
tidak bisa melanjutkan kuliah. Toh banyak orang yang nggak kuliah hidupnya bisa
sukses. Misalnya Andy F. Noya presenter kick Andy tidak menyelesaikan bangku
kuliahnya namun beliau bisa sukses. “Aku harus bisa” Tekad ku
***
Setelah gagal kuliah
tahun ini, aku mencoba untuk tidak berpangku tangan dirumah. Aku tidak ingin
hanya lontang-langtung kesana kemari
tidak jelas. Setelah pembagian ijazah, aku meminta izin kepada kedua orang
tuaku untuk merantau ke Jakarta. Walaupun dengan berat hati, ibu tetap
mengijinkanku. Sementara vivi dia bisa keterima di UNDIP dengan jurusan
pilihannya. Senang hatiku mendengarnya. Kami masih tetap berkomunikasi lewat
telepon walaupun intensitasnya tidak seperti semasa SMA dulu. Aku memahami
kalau ia sibuk dengan berbagai macam aktifitas kuliahnya, dan berbagai kegiatan
kemahasiswaannya. Ya aku memang harus paham tentang hal itu. Aku diterima
disalah satu perusahaan ritel terkemuka di Jakarta. Aku sebagai Pramuniaga
disana. Memang untuk hanya sekedar lulusan SMA sangat sulit untuk mendapatkan
pekerjaan yang bagus. Apalagi dijaman sekarang ini, persaingan terlalu ketat. Banyak
pengangguran disana sini. Untuk masuk ke perusahaan ritel tersebut aku juga
harus bersaing dengan ribuan orang. Walau gaji tidak seberapa tapi aku tetap
mensyukurinya dan bertahan sembari aku terus menabung tiap bulan untuk tetap
mewujudkan impianku untuk kuliah.
Hari berganti hari, setiap
detik jarum jam itu telah ku lalui. Tanpa terasa sudah memasuki awal tahun
2010. Cepat sekali rasanya. Padahal seperti baru kemaren saja aku lulus.
Kembali aku membuka buku tabunganku. Ku buka lembar demi lembar buku itu “yah masih 3 jutaan, sepertinya belum cukup”
batinku sembari terus memelototi buku tabunganku. Rp. 3.285.323 angka itu yang
tertulis ditabunganku. Berharap angka itu bisa berubah nominalnya lebih banyak
pada bulan mei nanti. Aku masih ingin kuliah.
“Lagi ngapain lu”
pertanyaan itu mengagetkanku.
“eh elu rif” aku
menyapanya sambil tersenyum. “gak papa.. lagi liat tabungan aja” tambahku.
“Rajin juga lu nabung. Memang
buat apa?” Tanya Arif penasaran.
“Buat kuliah nanti rif”
“Wah cita-cita lu bagus
juga” ujar arif sedikit kagum. Dia adalah arif teman satu kamarku di asrama
perusahaan. Perusahaan tempat ku bekerja ada asramanya. Tiap kamar diisi empat
orang. Itulah mengapa aku lumayan betah kerja disini. Aku jadi lebih berhemat
karena disediakan asrama untuk tidur. Jadi aku tidak harus mengeluarkan biaya tambahan
buat ngontrak rumah ataupun ngekos.
Januari, Februari,
Maret, April, Mei tibalah pada bulan yang aku tunggu. Pendaftaran SNMPTN sudah
kembali dibuka. Namun ada yang mengganjal dipikiranku, uang tabungan baru
terkumpul 5 jutaan. Aku sempat tidak yakin untuk mendaftar online SNMPTN. Aku bingung kalau nanti aku diterima kuliah apa uang
itu cukup untuk biaya masuknya. Akhirnya aku urungkan untuk mendaftar SNMPTN.
Aku harus menelan pil pahit. Kerja kerasku belum bisa terbayarkan. Aku harus
bisa lebih bersabar.
***
“Dek… kamu lagi apa.
Kata ibu ku dari seberang telepon
“Ini bue lagi tiduran
aja. Nanti adek dapat shif malam”
“Kamu udah makan” Tanya
ibuku lembut mengingatkanku yang sering lupa makan, atau bisa di bilang susah
makan.
“udah bue…” jawabku
singkat
“dek…” ibu menghentikan
ucapannya. Sepertinya ibu akan mengatakan hal yang serius.
“iya bue”
“dek… kamu pulang aja
ke Wonosobo. Ayah sama ibu udah ada uang buat kamu kuliah” Ucapan ibu membuatku
gembira dan juga sedih seketika. Gembira karena aku berarti sebentar lagi bisa
kuliah dan sedih karena betapa ibu dan ayahku berjuang keras untuk bisa
mengkuliahkan ku. Aku bertanya-tanya dalam hati. Dari mana Ayah dan ibu bisa
mendapatkan uang sebanyak itu. Sedangkan gaji pensiunan ayah sudah terpotong
banyak untuk membayar hutang karena dulu untuk modal berternak ayam. Tapi aku
tidak berani menanyakan nya kepada ibu. Yang jelas itu adalah uang halal. Hasil
kerja keras ayah dan ibu ku.
Hari
ini adalah bulan Juli 2010. Meski pendaftaran SNMPTN sudah tutup tapi itu tidak
masalah bagiku. Aku masih bisa kuliah walaupun itu di universitas swasta. Aku
berhenti dari pekerjaan ku dan aku kembali ke Wonosobo. Betapa terkejutnya
ketika aku sampai di rumah. Sepeninggal ku ke Jakarta, ibu membanting tulang
berjualan es cendol, rujak dan tempe kemul di depan rumah. Begitu bangga aku
pada ibuku. Sedangkan Ayah dengan usianya yang tidak muda lagi beliau bekerja
di ladang warisan dari almarhum simbah satu-satunya. “Ya Allah, Berikan mereka umur yang panjang dan bantu aku untuk
membahagiakan mereka” doaku dalam hati.
Langit
begitu gelap. Awan hitam menyelimuti ketika aku sedang berkemas kemas untuk
pergi mendaftar kuliah ke jogja untuk esok hari. Aku kelupaan belum membeli sikat
gigi untuk aku bawa. Aku beranjak pergi ke warung didekat rumah. Gerimis telah
menyambut. Handphone yang ada
disakuku bergetar. Ada sebuah SMS dan aku membukanya sambil berlari menuju
warung.
“yan… lm g ad kbr, km baik ja kn?” bunyi
sms yang masuk ke HP ku dari vivi.
“baik vi, aq tkt mngganggu kul km, kl aq srg
telp dan sms” balas ku ketika sudah
sampai dan meminta sebuah sikat gigi pada penjual warung.
“Yan aq mau mngatakan sesuatu”
“apa vi ?” balas
ku penasaran
“Sebaiknya qt akhri hub ini yan. Aq g bs
ngelanjutin nya” Membaca pesan itu aku sungguh lemas. Tangan ini seolah
susah untuk aku gerakkan. Tidak ada angin tak ada badai tiba-tiba ia berkata
seperti itu. Sebenarnya aku mau memberi kejutan untuk vivi kalau aku bakal
kuliah di Jogja tahun ini. Tapi sebelum aku sempat berucap, hal yang tidak aku
inginkan terjadi.
“Mas
ini sikat giginya…” suara itu mengagetkanku. Aku mengambil dan membayarnya lalu
pergi. Kali ini hujan benar-benar menyambutku di luar. Seolah ia mengerti apa
yang aku rasakan. Dalam hujan aku menangis. Aku menagis karena dua hal. Dan
hujan pun tau akan hal itu. Aku menangis bahagia karena aku bisa mewujudkan
impianku dan aku juga menangis sedih karena orang yang aku cintai pergi
meninggalkanku tanpa alasan yang berarti. Mungkin dia bukan jodohku. Sekiranya
ia jodohku maka Allah akan mempersatukan kita kelak. Aku mencoba selalu
berfikir positif. Keesokan harinya aku berangkat ke Jogja untuk mendaftar
kuliah. Fokus pada impianku yang sempat tertunda. Aku membuang pikiran tentang
vivi sejenak.
Setelah melalui jalan
panjangku, akhirnya impianku untuk kuliah bisa terwujud. Aku diterima disalah
satu Universitas swasta terkemuka di Jogja dengan jurusan komunikasi. Aku
sangat bahagia walaupun separuh hatiku telah pergi. Mungkin benar kata orang
bijak “Sesuatu itu akan datang kepadamu namun sesuatu yang lain akan menjauh
darimu”.
0 komentar:
Posting Komentar