Selasa, 21 Mei 2013

IMPIAN dan HATI


Sebelumnya mau curhat dulu, ini adalah salah satu cerpen yang ditolak oleh salah satu penerbit di Semarang. Mau gak mau harus legowo ya.. HaHa. Mungkin emang belum layak buat terbit. Ya sudah  lah terbitin sendiri aja disini. Kalian mau pada baca kan ? (Haruss... kalau gak gue makan entar ! :D). Oke selamat menikmati CERPEN yang di buat dari hati ini. Semoga pesan nya bisa masuk ke pembaca sekalian. 

***
IMPIAN dan HATI
Karya : Afian Haryadi


Hari ini adalah hari terakhir ujian nasional tingkat SMA. Ya hari ini adalah tanggal 24 April 2009. Seperti layaknya anak-anak SMA yang lainnya, aku mencoba untuk melaluinya dengan belajar sungguh-sungguh dan mengerjakan soal dengan teliti. Aku mengerjakan soal-soal ujian dengan penuh semangat. Tak peduli sesulit apapun soalnya, aku tak akan pantang menyerah. Kimia adalah mata pelajaran terakhir yang diujikan. Aku harus menghafal tabel unsur-unsur kimia sampai hafal diluar kepala. Beruntung guruku, ibu Ety setyowati sudah mengajarkan cara menghafal semua unsur-unsur kimia tersebut dengan cara yang menyenangkan. “Ha Li Na Ka Robi Cs Frend” aku mencoba menghafalnya dalam hati secara terus menerus. “Ha Hidrogen, Li Litium, Na Natrium, Ka Kalium, Robi Rubidium, Cs Sesium dan Frend untuk Fransium” Aku berkomat kamit seperti dukun yang ada di film-film.
Bel tanda masuk untuk ujian sudah dibunyikan. Semua anak-anak berebut masuk rungan yang telah ditentukan. Aku mendapat ruangan R.01. Ruangan di lantai satu SMA Pertiwi Wonosobo. Dua pengawas ujian membagikan soal dan lembar jawaban. Tata cara mengikuti ujian dan peraturannya juga mereka bacakan. “Bismillah… Ya Allah mudahkanlah aku dalam mengerjakan soal ujian kimia ini” Doa ku dalam hati sebelum memulai mengerjakannya. 50 soal aku kerjakan dengan sungguh-sungguh. Gerakan pensil 2B yang sudah agak tumpul menari-nari diatas lembar jawabanku. Ia seolah aku paksa untuk bekerja rodi pada ujian nasional ini. Terkadang pengawas berlalu lalang dari depan ke belakang sembari menatap tajam para peserta ujian. “Alhamdulillah” ucap ku bersyukur sambil berkemas-kemas untuk keluar ruangan setelah selesai mengerjakan semua soal.

Aku berjalan melewati lorong kelas yang masih cukup lengang karena sebagian peserta ujian yang lain belum semua keluar. “Ryan…” terdengar suara perempuan memanggil dari kejauhan. Aku menoleh mencari cari sumber suara itu. Nampaknya ada sesosok perempuan berlari mendekat kearah ku. Aku menghentikan langkahku sejenak.
“Ryan…. Kamu cepet sekali keluarnya ?” tanya vivi setelah dia didepan ku. Perempuan itu adalah vivi. Dia adalah kekasihku. Kami berpacaran semenjak kelas sebelas.
“Iya vi, kan udah selesai” jawabku sambil tersenyum kepadanya.
“Kamu habis ini mau kemana”
“Langsung pulang kayaknya. Mau bantuin ayah kirim ayam ke pembeli”
“ohh..” katanya singkat. Raut mukanya seperti kecewa. Mungkin ia ingin aku menemaninya atau mungkin ingin aku didekatnya setelah sudah agak lama semenjak ujian nasional ini kami jarang sekali jalan berdua. Kami sibuk belajar dan les di bimbingan belajar.
“Kamu kenapa vi?” Tanyaku memastikan.
“ahh nggak papa. Ya udah gih sana pulang. Nanti ditungguin ayahmu.” Vivi mencoba menutupi raut muka nya yang kecewa dengan senyum kecil nya yang manis.
Hening sejenak kami berdua. Kami telah berjalan sampai ke pintu gerbang sekolah. Aku dan vivi beda arah. Aku menunggu bus yang ke jurusan banjarnegara sementara vivi menaiki angkot kuning ke arah kota. Rumahku berbatasan langsung dengan kabupaten banjarnegara. Jadi dialek sehari-hari kami menggunakan dialek banyumasan atau biasa disebut ngapak. Dalam perjalanan pulang aku berfikir bahwa tadi vivi sangat kecewa dengan perkataanku yang hendak langsung pulang ke rumah. Tapi aku memang harus membantu ayah untuk mengirim ayam-ayamnya ke pembeli karena karyawan ayahku sedang sakit.

***
Malam yang dingin ditemani bintang-bintang yang berkerlap-kerlip. Aku membuka jendela rumahku yang terbuat dari papan. Bintang di langit itu terlihat tersenyum kepadaku seakan mengajak ku bicara. “apa yang sedang kamu pikirkan?” seolah bintang itu bertanya kepadaku. “Bintang kemana aku harus melanjutkan kuliah setelah lulus nanti?” Tanyaku padanya dalam hati sambil terus memandanginya. Lamunanku malam ini adalah aku masih bingung untuk melanjutkan kuliah dimana setelah lulus ini. Tapi ada dua pilihan dalam benakku. Mengambil jurusan keguruan atau broadcast.
“Tok.. tok.. tokk…” Suara pintu itu membuyarkan percakapanku pada bintang.
“Dek… udah tidur?” tanya seseorang di balik pintu.
“Belum bue.. masuk aja, nggak di kunci” kataku sambil beranjak dari depan jendela.
“Dek gimana ujianmu tadi ?” Tanya ibuku lembut sembari ia meletakkan sepiring tempe kemul dan segelas susu coklat panas kesukaanku.
“Ya lumayan susah bue, tapi adek yakin bisa lulus dan dapat nilai bagus kok”
“Bagus. Harus optimis !” kata ibuku semangat
“iya harus bue” kataku lebih semangat.
Kami mengobrol layaknya seseorang ibu kepada anaknya. Ibu menanyakan hal-hal kecil sebagai obrolan kami. Ibuku sangat perhatian padaku. Beliau begitu menyayangiku. Mungkin karena aku anak terakhir. Kedua kakak ku sudah menikah semua. Jarak usia kami pun cukup jauh. Aku dan kakak pertama ku terpaut usia 12 tahun sedangkan dengan kakak kedua ku terpaut usia 7 tahun. Aku juga punya adik. Usia kami tidak beda jauh hanya terpaut 3 tahun. Namun adikku sudah kembali kepada sang pemberi hidup pada saat ia berumur 3 tahun. Mengingat kematiannya terkadang aku menangis sendiri. Ia tidak mengalami sakit sedikit pun. Waktu itu aku masih kecil. Kami berdua bermain ditemani ibu di rumah tetangga kami. Selang dua hari kemudian badan adik seperti gosong-gosong lalu ia meninggal dunia.
“Nak… habis ini kamu mau kuliah dimana?” Ibuku memulai pertanyaan yang serius.
“Adek pengen di UNS solo bue. Ngambil keguruan atau kalau nggak, adek pengen di UGM ngambil jurusan komunikasi” Kataku mantap.
Ibu mengerutkan dahinya. Tanda sedang memikirkan sesuatu. Aku tidak tau apa yang ibu pikirkan.
“Dek… “ Ibu menghentikan perkataan nya sejenak. Seolah lidah ibu kelu dan tak bisa mengungkapkan apa yang hendak dibicarakan.
“iya bue…” jawabku
“Dek… kalau kamu tidak kuliah tahun ini nggak apa-apa kan” Perkataan barusan seolah membuat seluruh bintang di langit runtuh jatuh ke lembah api.
“Lho bue kenapa adik gak bisa kuliah tahun ini?” Tanya ku memastikan
“Dek.. Ayahmu bangkrut. Musim ini banyak ayam yang mati mendadak. Dan ada tengkulak yang kabur tidak mau membayar ayam yang mereka beli. Sementara uang pensiunan ayahmu dulu sudah habis.”
Aku tertunduk lesu mendengar semuanya. Aku ingin menangis sejadi jadinya namun aku malu untuk mengeluarkannya di depan ibu. Bintang malam ini seolah pergi. Enggan ia berbicara lagi denganku. Ia tak memancarkan cahayanya lagi. Redup kelam seperti suasana hati ini. Setelah ibu pergi aku benar-benar menangis. Marah, kesal, benci perasaan ini campur jadi satu. “Akan kah impianku sirna bersama gelapnya malam ini” Hatiku bertanya-tanya.

***
13 Juni 2009. Sabtu yang cerah. Mentari pagi memancarkan kehangatannya. Udara pagi Wonosobo yang biasanya menusuk tulang pun bersahabat sekali pagi ini. Ku menunggu bus di depan rumah seperti biasa. Namun kali ini sudah agak berbeda, karena sudah lama aku tidak melakukannya setelah ujian sekolah berakhir bulan Mei. Semua siswa kelas 12 sudah tidak sekolah dan tinggal menunggu hasil kelulusan di rumah masing-masing. Pagi ini adalah pengumuman hasil UN. Semua siswa diminta hadir di sekolah untuk mengetahui hasilnya. Aku berjalan melewati gerbang sekolah yang sudah terbuka lebar. Langkahku tak bergairah. Seperti ada yang menambahkan beban dikakiku, sehingga kaki ini sulit sekali untuk berjalan. Kelas duabelas IPA 2 berada di ujung sebelah perpustakaan sekolah. Lorong kelas ini sudah ramai. Nampak wajah-wajah peraih mimpi yang berseri-seri. Mungkin mereka juga berdebar debar tapi mereka tetap optimis dengan hasil yang akan mereka dapatkan nanti.
“Yan…” Ia menepuk pundakku dari belakang. Aku menoleh kearahnya.
“Kamu ra?” Dia Tara. Sahabatku yang kebetulan satu kelas denganku.
“Kamu mau nglanjutin dimana?. Udah daftar SNMPTN?” Tanya Tara sambil berjalan menuju ke kelas.
Aku mengrenyitkan dahi. Dalam hatiku sedih mendengar pertanyaan itu. Namun ini dalah konsekuensi yang harus ditanggung. Ya aku harus terlihat tegar menjawab semua pertanyaan-pertanyaan tentang itu.
“Kayaknya aku nggak ngelanjutin kuliah tahun ini ra” Jawab ku santai menutupi kesedihanku
“Lho kenapa?” Tanya Tara terkejut
“Nyong pengen ngedem pikiran sit” (Aku ingin mendinginkan pikiranku sejenak) Jawabku.
“Halahh… mang ngedem barang.” (Halahh kenapa harus mendinginkan pikiran segala).
Kami berdua sampai di kelas. Semua obrolan anak-anak membuat hatiku semakin panas. Kebanyakan dari mereka mengobrolkan tentang kuliah.
“Eh… aku ketrima di STAN lho” Kata salah satu temanku di bangku paling depan.
“Arghhhhhh… kenapa sih aku harus nunda kuliah” Hatiku berontak. Semua orang membicarakan tentang kuliah… kuliah…. dan kuliah.
Suasana kelas menjadi hening. Wali kelasku ibu Herlina masuk kelas dengan membawa sejumlah amplop putih. Ibu herlina memberikan salam kepada semua muridnya lalu ia sedikit memberikan arahan.
“Anak-anak… kelas kita ada yang tidak lulus” kata-kata yang baru diucapkan bu Herlina membuat suasana kelas mencekam. Hening begitu terasa ada sebagian murid yang matanya sudah berkaca-kaca mendengar ucapan itu. Aku menanggapinya biasa saja. Lulus tidak lulus toh aku nggak bisa nglanjutin kuliah. Putus asa sudah aku dibuatnya. Ibu Herlina membagikan amplop satu persatu kepada semua murid. Tapi beliau berkata untuk tidak membukanya terlebih dahulu sebelum ada aba-aba dari nya.
“Sekarang boleh dibuka amplopnya” Kata bu Herlina setelah beliau selesai membagikan semua amplop kepada semua murid. Semua wajah terlihat tegang. Harap-harap cemas terlihat jelas dari semua murid.
Selamat kepada Ryan Haryanto
dinyatakan  LULUS
Isi amplop itu terasa biasa saja menurut ku. Tak ada yang istimewa. Semua siswa bersorak sorai. Ternyata perkataan ibu herlina tentang salah satu siswa tidak lulus itu hanya untuk membuat kami tegang. Kelas XII IPA 2 dinyatakan lulus 100 %.
“Selamat ya nak… kalian semua LULUS” Kata Ibu Herlina tersenyum bangga kepada semua siswa.
Satu persatu kami semua menyalami ibu Herlina dan mencium tangannya tanda ucapan terimakasih setelah satu tahun ini kami semua dibimbingnya. Uforia kelulusan sekolah begitu terasa di sekolahku. Mereka semua melakukan corat coret pada seragam mereka. Sebenarnya hal ini aku tidak setuju. Kenapa harus merayakan kelulusan dengan corat-coret baju seragam sedangkan baju seragam yang mereka pakai sebenarnya bisa mereka sumbangkan kepada panti asuhan atau yang lainnya.
***
“Kamu sepertinya tidak bahagia ya?” Suara dari samping kiriku membuyarkan lamunan.
“eh.. vi.. kamu dah lama duduk disini” sapaku mencoba tersenyum. Aku malah lupa kalau aku masih punya kekasih bernama vivi. Aku belum bertemu dia sejak di sekolah tadi. Kini ia ada disampingku duduk di halte yang sudah cukup usang. Beruntung aku punya kekasih yang begitu sabar dan pengertian. Walaupun aku sering dingin dan terkadang cuek tapi dia tidak pernah marah, hanya sesekali marah bila aku keterlaluan.
“Kamu lulus kan yan?”Tanya nya penasaran sambil memandang wajahku teduh
“Iya dong… Ryan masa gak lulus” Jawabku membusungkan dada
“ahh kamu ini” ujarnya menepuk dadaku
“awww…”
Kami berdua tertawa renyah. Kalau di dekat vivi seolah beban dalam pikiranku hilang. Lenyap tak membekas sedikitpun.
“Kamu mau nganjutin kemana?” Pertanyaan yang sebenarnya tidak ingin aku dengar kembali terlontar, kali ini dari kekasihku sendiri.
“ehhmmm….” Lidah ku kelu. Aku ingin berbohong seperti saat menjawab pertanyaan Tara tadi tapi aku nggak bisa.
“Kenapa yan?” pertanyaan itu membuat mataku berkaca-kaca. Apakah aku serapuh ini?.
“Gini vi, aku nggak ngalanjutin kuliah tahun ini. Ayahku habis bangkrut” Aku mencoba tegar dan jujur. Mataku yang berkaca-kaca mencoba ku lenyapkan.
“Sabar ya yan….” Dia mengelus elus lengan ku. Aku mencoba untuk tersenyum dan bertanya kembali kepadanya.
“Kamu mau kuliah dimana?”
Dia memandangku dengan wajah teduhnya dan menjawabnya “aku daftar di UNDIP yan, jurusan Arsitektur”
            “Yap semoga ketrima ya vi. Aku selalu mendukungmu” aku mencoba menguatkan dan menyemangatinya.
            “kamu juga ya… jangan menyerah tahun depan kamu pasti bisa kuliah” vivi menyemangatiku.
            Semangat dari vivi membuat hidup ku kembali bergairah. Aku kembali berfikir positif untuk kejadian ini. Mungkin jalan hidup yang harus aku lalui memang seperti ini. Tapi hidup harus terus berjalan. Dunia ini tidak akan berhenti karena aku tidak bisa melanjutkan kuliah. Toh banyak orang yang nggak kuliah hidupnya bisa sukses. Misalnya Andy F. Noya presenter kick Andy tidak menyelesaikan bangku kuliahnya namun beliau bisa sukses. “Aku harus bisa” Tekad ku
***
Setelah gagal kuliah tahun ini, aku mencoba untuk tidak berpangku tangan dirumah. Aku tidak ingin hanya lontang-langtung kesana kemari tidak jelas. Setelah pembagian ijazah, aku meminta izin kepada kedua orang tuaku untuk merantau ke Jakarta. Walaupun dengan berat hati, ibu tetap mengijinkanku. Sementara vivi dia bisa keterima di UNDIP dengan jurusan pilihannya. Senang hatiku mendengarnya. Kami masih tetap berkomunikasi lewat telepon walaupun intensitasnya tidak seperti semasa SMA dulu. Aku memahami kalau ia sibuk dengan berbagai macam aktifitas kuliahnya, dan berbagai kegiatan kemahasiswaannya. Ya aku memang harus paham tentang hal itu. Aku diterima disalah satu perusahaan ritel terkemuka di Jakarta. Aku sebagai Pramuniaga disana. Memang untuk hanya sekedar lulusan SMA sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang bagus. Apalagi dijaman sekarang ini, persaingan terlalu ketat. Banyak pengangguran disana sini. Untuk masuk ke perusahaan ritel tersebut aku juga harus bersaing dengan ribuan orang. Walau gaji tidak seberapa tapi aku tetap mensyukurinya dan bertahan sembari aku terus menabung tiap bulan untuk tetap mewujudkan impianku untuk kuliah.
Hari berganti hari, setiap detik jarum jam itu telah ku lalui. Tanpa terasa sudah memasuki awal tahun 2010. Cepat sekali rasanya. Padahal seperti baru kemaren saja aku lulus. Kembali aku membuka buku tabunganku. Ku buka lembar demi lembar buku itu “yah masih 3 jutaan, sepertinya belum cukup” batinku sembari terus memelototi buku tabunganku. Rp. 3.285.323 angka itu yang tertulis ditabunganku. Berharap angka itu bisa berubah nominalnya lebih banyak pada bulan mei nanti. Aku masih ingin kuliah.
“Lagi ngapain lu” pertanyaan itu mengagetkanku.
“eh elu rif” aku menyapanya sambil tersenyum. “gak papa.. lagi liat tabungan aja” tambahku.
“Rajin juga lu nabung. Memang buat apa?” Tanya Arif penasaran.
“Buat kuliah nanti rif”
“Wah cita-cita lu bagus juga” ujar arif sedikit kagum. Dia adalah arif teman satu kamarku di asrama perusahaan. Perusahaan tempat ku bekerja ada asramanya. Tiap kamar diisi empat orang. Itulah mengapa aku lumayan betah kerja disini. Aku jadi lebih berhemat karena disediakan asrama untuk tidur. Jadi aku tidak harus mengeluarkan biaya tambahan buat ngontrak rumah ataupun ngekos.
Januari, Februari, Maret, April, Mei tibalah pada bulan yang aku tunggu. Pendaftaran SNMPTN sudah kembali dibuka. Namun ada yang mengganjal dipikiranku, uang tabungan baru terkumpul 5 jutaan. Aku sempat tidak yakin untuk mendaftar online SNMPTN. Aku bingung kalau nanti aku diterima kuliah apa uang itu cukup untuk biaya masuknya. Akhirnya aku urungkan untuk mendaftar SNMPTN. Aku harus menelan pil pahit. Kerja kerasku belum bisa terbayarkan. Aku harus bisa lebih bersabar.

***
“Dek… kamu lagi apa. Kata ibu ku dari seberang telepon
“Ini bue lagi tiduran aja. Nanti adek dapat shif malam”
“Kamu udah makan” Tanya ibuku lembut mengingatkanku yang sering lupa makan, atau bisa di bilang susah makan.
“udah bue…” jawabku singkat
“dek…” ibu menghentikan ucapannya. Sepertinya ibu akan mengatakan hal yang serius.
“iya bue”
“dek… kamu pulang aja ke Wonosobo. Ayah sama ibu udah ada uang buat kamu kuliah” Ucapan ibu membuatku gembira dan juga sedih seketika. Gembira karena aku berarti sebentar lagi bisa kuliah dan sedih karena betapa ibu dan ayahku berjuang keras untuk bisa mengkuliahkan ku. Aku bertanya-tanya dalam hati. Dari mana Ayah dan ibu bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Sedangkan gaji pensiunan ayah sudah terpotong banyak untuk membayar hutang karena dulu untuk modal berternak ayam. Tapi aku tidak berani menanyakan nya kepada ibu. Yang jelas itu adalah uang halal. Hasil kerja keras ayah dan ibu ku.
            Hari ini adalah bulan Juli 2010. Meski pendaftaran SNMPTN sudah tutup tapi itu tidak masalah bagiku. Aku masih bisa kuliah walaupun itu di universitas swasta. Aku berhenti dari pekerjaan ku dan aku kembali ke Wonosobo. Betapa terkejutnya ketika aku sampai di rumah. Sepeninggal ku ke Jakarta, ibu membanting tulang berjualan es cendol, rujak dan tempe kemul di depan rumah. Begitu bangga aku pada ibuku. Sedangkan Ayah dengan usianya yang tidak muda lagi beliau bekerja di ladang warisan dari almarhum simbah satu-satunya. “Ya Allah, Berikan mereka umur yang panjang dan bantu aku untuk membahagiakan mereka” doaku dalam hati.
            Langit begitu gelap. Awan hitam menyelimuti ketika aku sedang berkemas kemas untuk pergi mendaftar kuliah ke jogja untuk esok hari. Aku kelupaan belum membeli sikat gigi untuk aku bawa. Aku beranjak pergi ke warung didekat rumah. Gerimis telah menyambut. Handphone yang ada disakuku bergetar. Ada sebuah SMS dan aku membukanya sambil berlari menuju warung.
            “yan… lm g ad kbr, km baik ja kn?” bunyi sms yang masuk ke HP ku dari vivi.
            “baik vi, aq tkt mngganggu kul km, kl aq srg telp dan sms”  balas ku ketika sudah sampai dan meminta sebuah sikat gigi pada penjual warung.
            “Yan aq mau mngatakan sesuatu”
            “apa vi ?” balas ku penasaran
            “Sebaiknya qt akhri hub ini yan. Aq g bs ngelanjutin nya” Membaca pesan itu aku sungguh lemas. Tangan ini seolah susah untuk aku gerakkan. Tidak ada angin tak ada badai tiba-tiba ia berkata seperti itu. Sebenarnya aku mau memberi kejutan untuk vivi kalau aku bakal kuliah di Jogja tahun ini. Tapi sebelum aku sempat berucap, hal yang tidak aku inginkan terjadi.
            “Mas ini sikat giginya…” suara itu mengagetkanku. Aku mengambil dan membayarnya lalu pergi. Kali ini hujan benar-benar menyambutku di luar. Seolah ia mengerti apa yang aku rasakan. Dalam hujan aku menangis. Aku menagis karena dua hal. Dan hujan pun tau akan hal itu. Aku menangis bahagia karena aku bisa mewujudkan impianku dan aku juga menangis sedih karena orang yang aku cintai pergi meninggalkanku tanpa alasan yang berarti. Mungkin dia bukan jodohku. Sekiranya ia jodohku maka Allah akan mempersatukan kita kelak. Aku mencoba selalu berfikir positif. Keesokan harinya aku berangkat ke Jogja untuk mendaftar kuliah. Fokus pada impianku yang sempat tertunda. Aku membuang pikiran tentang vivi sejenak.
Setelah melalui jalan panjangku, akhirnya impianku untuk kuliah bisa terwujud. Aku diterima disalah satu Universitas swasta terkemuka di Jogja dengan jurusan komunikasi. Aku sangat bahagia walaupun separuh hatiku telah pergi. Mungkin benar kata orang bijak “Sesuatu itu akan datang kepadamu namun sesuatu yang lain akan menjauh darimu”.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;